Sejarah Perekonomian Indonesia
Prakolonialisme
Sistem Monopoli VOC
Sistem Tanam Paksa
Sistem Kapitalis Liberal
Era Pendudukan Jepang
Cita-cita Ekonomi Merdeka
Ekonomi Indonesia pada Periode Pemerintahan; Orde Lama, Orde Baru, Reformasi
Prakolonialisme
Sejarah Indonesia sebelum masuknya
kolonialisme asing terutama Eropa, adalah sejarah migrasi yang memiliki
karakter atau sifat utama berupa perang dan penaklukan satu suku bangsa
atau bangsa terhadap suku bangsa atau bangsa lainnya. Pada periode yang
kita kenal sebagai zaman pra sejarah, maka dapat diketemukan bahwa
wilayah yang saat ini kita sebut sebagai Indonesia, telah menjadi tujuan
migrasi suku bangsa yang berasal dari wilayah lain. 2000 atau 3000
sebelum Masehi, suku bangsa Mohn Kmer dari daratan Tiongkok bermigrasi
di Indonesia karena terdesaknya posisi mereka akibat berkecamuknya
perang antar suku.
Kedatangan mereka dalam rangka
mendapatkan wilayah baru, dan hal tersebut berarti mereka harus
menaklukan suku bangsa lain yang telah berdiam lebih dulu di Indonesia.
Karena mereka memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi berupa alat
kerja dan perkakas produksi serta perang yang lebih maju, maka upaya
penaklukan berjalan dengan lancar. Selain menguasai wilayah baru, mereka
juga menjadikan suku bangsa yang dikalahkanya sebagai budak. Pada
perkembangannya, bangsa-bangsa lain yang lebih maju peradabannya, datang
ke Indonesia, mula-mula sebagai tempat persinggahan dalam perjalanan
dagang mereka, dan kemudian berkembang menjadi upaya yang lebih
terorganisasi untuk penguasaan wilayah, hasil bumi maupun jalur
perdagangan. Seperti misalnya kedatangan suku bangsa Dravida dari
daratan India -yang sedang mengalami puncak kejayaan masa perbudakan di
negeri asalnya- , berhasil mendirikan kekuasaan di beberapa tempat
seperti Sumatra dan Kalimantan.
Mereka memperkenalkan
pengorganisasian kekuasaan dan politik secara lebih terpusat dalam
bentuk berdirinya kerajaan kerajaan Hindu dan Budha. Berdirinya
kerajaan-kerajaan tersebut juga menandai zaman keemasan dari masa
kepemilikan budak di Nusantara yang puncaknya terjadi pada periode
kekuasaan kerajaan Majapahit. Seiring dengan perkembangan perdagangan,
maka juga terjadi emigrasi dari para saudagar dan pedagang dari daratan
Arab yang kemudian mendirikan kerajaan-kerajaan Islam baru di daerah
pesisir pantai untuk melakukan penguasaan atas bandar-bandar
perdagangan. Berdirinya kerajaan Islam telah mendesak kerajaan-kerajaan
Hindu dan Budha ke daerah pedalaman, dan mulai memperkenalkan sistem
bercocok tanam atau pertanian yang lebih maju dari sebelumnya berupa
pembangunan irigasi dan perbaikan teknik pertanian, menandai mulai
berkembangnya zaman feudalisme. Pendatang dari Cina juga banyak
berdatangan terutama dengan maksud mengembangkan perdagangan seperti
misalnya ekspedisi kapal dagang Cina di bawah pimpinan Laksamana Ceng
Hong yang mendarat di Semarang. Pada masa ini juga sudah berlangsung
migrasi orang-orang Jawa ke semenanjung Malaya yang singgah di Malaysia
dan Singapura untuk bekerja sementara waktu guna mengumpulkan uang agar
bisa melanjutkan perjalanan ke Mekah dalam rangka ziarah agama. Demikian
juga orang-orang di pulau Sangir Talaud yang bermigrasi ke Mindano
(Pilipina Selatan) karena letaknya yang sangat dekat secara geografis.
Dari catatan sejarah yang sangat
ringkas tersebut, maka kita dapat menemukan beberapa ciri dari gerakan
migrasi awal yang berlangsung di masa-masa tersebut. Pertama, wilayah
Nusantara menjadi tujuan migrasi besar-besaran dari berbagai suku bangsa
lain di luar wilayah nusantara. Sekalipun pada saat itu belum dikenal
batas-batas negara, tetapi sudah terdapat migrasi yang bersifat
internasional mengingat suku-suku bangsa pendatang berasal dari daerah
yang sangat jauh letaknya. Kedua, motif atau alasan terjadinya migrasi
pertama-tama adalah ekonomi (pencarian wilayah baru untuk tinggal dan
hidup, penguasaan sumber-sumber ekonomi dan jalur perdagangan) dan
realisasi hal tersebut menuntut adanya kekuasaan politik dan penyebaran
kebudayaan pendukung. Ketiga, proses migrasi tersebut ditandai dengan
berlangsungnya perang dan penaklukan, cara-cara yang paling vulgar dalam
sejarah umat manusia. Keempat, migrasi juga telah mendorong
perkembangan sistem yang lebih maju dari masa sebelumnya seperti
pengenalan organisasi kekuasaan yang menjadi cikal bakal negara (state)
dan juga sistem pertanian.
Sistem Monopoli VOC
Dengan berbagai cara VOC berusaha
menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia serta pelabuhan-pelabuhan
penting. Kecuali itu, juga berusaha memaksakan monopoli perdagangan
rempah-rempah. Bagaimana VOC menjalankan usahanya tersebut? Pertama-tama
berusaha menguasai salah satu pelabuhan penting, yang akan dijadikan
pusat VOC. Untuk keperluan tersebut ia mengincar kota Jayakarta. Ketika
itu Jayakarta di bawah kekuasaan Kerajaan Islam Banten. Sultan Banten
mengangkat Pangeran Wijayakrama sebagai adipati di Jayakarta.
Mula-mula VOC mendapat izin dari
Pangeran Wijayakrama untuk mendirikan kantor dagang di Jayakarta. Tetapi
ketika gubernur jenderal dijabat oleh J.P. Coen,
Pangeran Wijayakrama diserangnya.
Kota Jayakarta direbut dan dibakar. Kemudian di atas reruntuhan kota
Jayakarta, J.P. Coen membangun sebuah kota baru.
Kota baru itu diberinya nama Batavia. Peristiwa tersebut pada tahun 1619. Kota Batavia itulah yang kemudian menjadi pusat VOC.
Setelah memiliki sebuah kota sebagai
pusatnya, maka kedudukan VOC makin kuat. Usaha untuk menguasai
kerajaan-kerajaan dan pelabuhan-pelabuhan penting ditingkatkan. Cara
melakukannya dengan politik dividi et impera atau politik mengadu domba.
Mengadu dombakan sesama bangsa Indonesia atau antara satu kerajaan
dengan kerajaan lain. Tujuannya agar kerajaan-kerajaan di Indonesia
menjadi lemah, sehingga mudah dikuasainya. VOC juga sering ikut campur
tangan dalam urusan pemerintahan kerajaan-kerajaan di Indonesia.
Untuk menguasai perdagangan
rempah-rempah, ia memaksakan monopoli, terutama di Maluku. Dalam
usahanya melaksanakan monopoli, VOC menetapkan beberapa peraturan, yaitu
sebagai berikut :
1. Rakyat Maluku dilarang menjual rempah-rempah selain kepada VOC.
2. Jumlah tanaman rempah-rempah ditentukan oleh VOC.
3. Tempat menanam rempah-rempah juga ditentukan oleh VOC.
Agar pelaksanaan monopoli tersebut
benar-benar ditaati oleh rakyat, VOC mengadakan Pelayaran Hongi.
Pelayaran Hongi ialah patroli dengan perahu kora-kora, yang dilengkapi
dengan senjata, untuk mengawasi pelaksanaan monopoli di Maluku. Bila
terjadi pelanggaran terhadap peraturan tersebut di atas, maka
pelanggarnya dijatuhi hukuman.
Hukuman terhadap para pelanggar
peraturan monopoli disebut ekstirpasi. Hukuman itu berupa pembinasaan
tanaman rempah-rempah milik petani yang melanggar monopoli, dan
pemiliknya disiksa atau bisa-bisa dibunuh.
Bukan main kejamnya tindakan VOC
waktu itu. Akibatnya penderitaan rakyat memuncak. Puluhan ribu batang
tanaman pala dan cengkih dibinasakan. Ribuan rakyat disiksa, dibunuh
atau dijadikan budak. Ribuan pula rakyat yang melarikan diri
meninggalkan kampung halamannya, karena ngeri melihat kekejaman Belanda.
Tidak sedikit yang meninggal di
hutan atau gunung karena kelaparan. Tanah milik rakyat yang
ditinggalkan, oleh VOC dibagi-bagikan kepada pegawainya. Karena
kekejaman tersebut maka timbulah perlawanan di berbagai daerah.
Sistem Tanam Paksa
Kegagalan van der Capellen
menyebabkan jatuhnya kaum liberal, sehingga menyebabkan pemerintahan
didominasi kaum konservatif. Gubernur Jenderal van den Bosch, menerapkan
kebijakan politik dan ekonomi konservatif di Indonesia.
Pada tahun 1830 mulai diterapkan
aturan kerja rodi (kerja paksa) yang disebut Cultuurstelsel.
Cultuurstelsel dalam bahasa Inggris adalah Cultivation System yang
memiliki arti sistem tanam. Namun di Indonesia cultuurstelsel lebih
dikenal dengan istilah tanam paksa.
Ini cukup beralasan diartikan
seperti itu karena dalam praktiknya rakyat dipaksa untuk bekerja dan
menanam tanaman wajib tanpa mendapat imbalan. Tanaman wajib adalah
tanaman perdagangan yang laku di dunia internasional seperti kopi, teh,
lada, kina, dan tembakau.
Cultuurstelsel diberlakukan dengan
tujuan memperoleh pendapatan sebanyak mungkin dalam waktu relatif
singkat. Dengan harapan utang-utang Belanda yang besar dapat diatasi.
Berikut ini pokok-pokok cultuurstelsel.
Pokok-Pokok Sistem Tanam Paksa:
Rakyat wajib menyiapkan 1/5 dari
lahan garapan untuk ditanami tanaman wajib. Lahan tanaman wajib bebas
pajak, karena hasil yang disetor sebagai pajak. Setiap kelebihan hasil
panen dari jumlah pajak akan dikembalikan. Tenaga dan waktu yang
diperlukan untuk menggarap tanaman wajib, tidak boleh melebihi waktu
yang diperlukan untuk menanam padi. Rakyat yang tidak memiliki tanah
wajib bekerja selama 66 hari dalam setahun di perkebunan atau pabrik
milik pemerintah. Jika terjadi kerusakan atau gagal panen, menjadi
tanggung jawab pemerintah. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya
kepada para penguasa pribumi (kepala desa).
(Sumber: Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1.500 – 1.900, 1999)
Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa
Untuk mengawasi pelaksanaan tanam
paksa, Belanda menyandarkan diri pada sistem tradisional dan feodal.
Para bupati dipekerjakan sebagai mandor/pengawas dalam tanam paksa. Para
bupati sebagai perantara tinggal meneruskan perintah dari pejabat
Belanda.
Kalau melihat pokok-pokok
cultuurstelsel dilaksanakan dengan semestinya merupakan aturan yang
baik. Namun praktik di lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau
dengan kata lain terjadi penyimpangan.
Berikut ini penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam paksa;
1) Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5.
2) Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak.
3) Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.
4) Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan.
5) Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani.
Dalam pelaksanaannya, tanam paksa
banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan. Penyimpangan ini terjadi karena penguasa lokal, tergiur oleh
janji Belanda yang menerapkan sistem cultuur procenten. Cultuur
procenten atau prosenan tanaman adalah hadiah dari pemerintah bagi para
pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi, kepala desa) yang dapat
menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan yang diterapkan dengan tepat
waktu.
Bagi rakyat di Pulau Jawa, sistem
tanam paksa dirasakan sebagai bentuk penindasan yang sangat
menyengsarakan rakyat. Rakyat menjadi melarat dan menderita. Terjadi
kelaparan yang menghebat di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan
(1849). Kelaparan mengakibatkan kematian penduduk meningkat.
Adanya berita kelaparan menimbulkan
berbagai reaksi, baik dari rakyat Indonesia maupun orang-orang Belanda.
Rakyat selalu mengadakan perlawanan tetapi tidak pernah berhasil.
Penyebabnya bergerak sendiri-sendiri secara sporadis dan tidak
terorganisasi secara baik. Reaksi dari Belanda sendiri yaitu adanya
pertentangan dari golongan liberal dan humanis terhadap pelaksanaan
sistem tanam paksa.
(Fransen van de Putte yang menerbitkan Suiker Contracten)
Pada tahun 1860, Edward Douwes
Dekker yang dikenal dengan nama samaran Multatuli menerbitkan sebuah
buku yang berjudul “Max Havelar”. Buku ini berisi tentang keadaan
pemerintahan kolonial yang bersifat menindas dan korup di Jawa. Di
samping Douwes Dekker, juga ada tokoh lain yang menentang tanam paksa
yaitu Baron van Hoevel, dan Fransen van de Putte yang menerbitkan
artikel “Suiker Contracten” (perjanjian gula).
Menghadapi berbagai reaksi yang ada,
pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara
bertahap. Sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870
berdasarkan UU Landreform (UU Agraria).
Meskipun tanam paksa sangat memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga memberikan pengaruh yang positif terhadap rakyat, yaitu:
1) terbukanya lapangan pekerjaan,
2) rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru, dan
3) rakyat mengenal cara menanam yang baik.
Sistem Liberal Kapitalis
1. Pengertian.
Sistem ekonomi liberal kapitalis
adalah sitem ekonomi yang aset-aset produktif dan faktor-faktor
produksinya sebagian besar dimiliki oleh sektor individu/swasta.
Sementara tujuan utama kegiatan produksi adalah menjual untuk memperoleh
laba.
Sistem perekonomian/tata ekonomi
liberal kapitalis merupakan sistem perekonomian yang memberikan
kebebasan kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian
seperti memproduksi barang, menjual barang, menyalurkan barang dan lain
sebagainya.
Dalam perekonomian liberal kapitalis
setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan
kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh
laba sebesar- besarnya dan bebas melakukan kompetisi untuk memenangkan
persaingan bebas.
2. Ciri-ciri.
Ciri-ciri dari sistem ekonomi liberal kapitalis antara lain :
a. Masyarakat diberi kebebasan dalam memiliki sumber-sumber produksi.
b. Pemerintah tidak ikut campur tangan secara langsung dalam kegiatan ekonomi.
c. Masyarakat terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan pemilik sumber daya produksi dan masyarakat pekerja (buruh).
d. Timbul persaingan dalam masyarakat, terutama dalam mencari keuntungan.
e. Kegiatan selalu mempertimbangkan keadaan pasar.
f. Pasar merupakan dasar setiap tindakan ekonom.
g. Biasanya barang-barang produksi yang dihasilkan bermutu tinggi.
3. Keuntungan dan Kelemahan.
Sistem ekonomi liberal kapitalis selain memilki keuntungan juga mempunyai kelemahan, antara lain :
Keuntungan :
1) Menumbuhkan inisiatif dan
kerasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi, karena masyarakat tidak perlu
lagi menunggu perintah dari pemerintah.
2) Setiap individu bebas memiliki
untuk sumber-sumber daya produksi, yang nantinya akan mendorong
partisipasi masyarakat dalam perekonomian.
3) Timbul persaingan semangat untuk maju dari masyarakat.
4) Mengahsilkan barang-barang bermutu tinggi, karena adanya persaingan semangat antar masyarakat.
5) Efisiensi dan efektifitas tinggi, karena setiap tindakan ekonomi didasarkan motif mencari keuntungan.
Kelemahan :
1) Terjadinya persaingan bebas yang tidak sehat.
2) Masyarakat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
3) Banyak terjadinya monopoli masyarakat.
4) Banyak terjadinya gejolak dalam perekonomian karena kesalahan alokasi sumber daya oleh individu.
5) Pemerataan pendapatan sulit dilakukan, karena persaingan bebas tersebut.
4. Institusi-institusi dalam Ekonomi Liberal Kapitalis.
Ada lima institusi pokok yang membangun sitem ekonomi liberal kapitalis, yakni :
a. Hak kepemilikan.
Sebagian besar hak kepemilikan dalam
sistem ekonomi liberal kapitalis adalah hak kepemilikan swasta/individu
(private/individual property), sehingga individu dalam masyarakat
liberal kapitalis lebih terpacu untuk produktif.
b. Keuntungan.
Keuntungan (profit) selain memuaskan
nafsu untuk menimbun kekayaan produktif, juga merupakan bagian dari
ekspresi diri, karena itu keuntungan dipercaya dapat memotivasi manusia
untuk bekerja keras dan produktif.
c. Konsumerisme.
Konsumerisme sering diidentikkan
dengan hedonisme yaitu falsafah hidup yang mengajarkan untuk mencapai
kepuasan sebesar-besarnya selama hidup di dunia. Tetapi dalam arti
positif, konsumerisme adalah gaya hidup yang sangat menekankan
pentingnya kualitas barang dan jasa yang digunakan. Sebab tujuan akhir
dari penggunaan barang dan jasa adalah meningkatkan nilai kegunaan
(utilitas) kehidupan. Sehingga masyarakat liberal kapitalis terkenal
sebagai penghasil barang dan jasa yang berkualitas.
d. Kompetisi.
Melalui kompetisi akan tersaring
individu-individu atau perusahaan-perusahaan yang mampu bekerja efisien.
Efisiensi ini akan menguntungkan produsen maupun konsumen, atau baik
yang membutuhkan (demander) maupun yang menawarkan (supplier).
e. Harga.
Harga merupakan indikator
kelangkaan, jika barang dan jasa semakin mahal berarti barang dan jasa
tersebut semakin langka. Bagi produsen, gejala naiknya harga merupakan
sinyal untuk menambah produksi agar keuntungan meningkat.
5. Sejarah dan Perkembangan.
Sistem ekonomi liberal kapitalis
lebih bersifat memberikan kebabasan kepada individu/swasta dalam
menguasai sumber daya yang bermuara pada kepentingan masing-masing
individu untuk mendapatkan keuntungan pribadi sebesar-besarnya. Hal
tersebut tidak terlepas dari berkembangnya paham individualisme dan
rasionalisme pada zaman kelahiran kembali kebudayaan Eropa (renaisance)
pada sekitar abad pertengahan (abad ke-XVI). Yang dimaksud dengan
kelahiran kembali kebudayaan Eropa adalah pertemuan kembali dengan
filsafat Yunani yang dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan modern
setelah berlangsungnya Perang Salib pada abad XII – XV. Cepat
diterimanya kebudayaan Yunani oleh ilmuwan Eropa tidak terlepas dari
suasana masa itu, dimana Gereja mempunyai kekuasaan yang dominan
sehingga berhak memutuskan sesuatu itu benar atau salah. Hal tersebut
mendorong para ilmuwan untuk mencari alternatif diluar Gereja. Dalam hal
ini filsafat Yunani yang mengajarkan bahwa rasio merupakan otoritas
tertinggi dalam menentukan kebenaran, sangat cocok dengan kebutuhan
ilmuwan Eropa waktu itu.
Pengaruh gerakan reformasi terus
bergulir, sehingga mendorong munculnya gerakan pencerahan
(enlightenment) yang mencakup pembaruan ilmu pengetahuan, termasuk
perbaikan ekonomi yang dimulai sekitar abad XVII-XVIII. Salah satu
hasilnya adalah masyarakat liberal kapitalis.
Namun gerakan pencerahan tersebut
juga membawa dampak negatif. Munculnya semangat liberal kapitalis
membawa dampak negatif yang mencapai puncaknya pada abad ke-XIX, antara
lain eksploitasi buruh, dan penguasaan kekuatan ekonomi oleh individu.
Kondisi ini yang mendorong dilakukannya koreksi lanjutan terhadap sistem
politik dan ekonomi, misalnya pembagian kekuasaan, diberlakukannya
undang-undang anti monopoli, dan hak buruh untuk mendapatkan tunjangan
dan mendirikan serikat buruh.
a. Sistem liberal kapitalis awal/klasik.
Sistem ekonomi liberal kapitalis
klasik berlangsung sekitar abad ke-XVII sampai menjelang abad ke-XX,
dimana individu/swasta mempunyai kebebasan penguasaan sumber daya maupun
pengusaan ekonomi dengan tanpa adanya campur tangan pemerintah untuk
mencapai kepentingan individu tersebut, sehingga mengakibatkan munculnya
berbagai ekses negatif diantaranya eksploitasi buruh dan penguasaan
kekuatan ekonomi. Untuk masa sekarang, sitem liberal kapitalis
awal/klasik telah ditinggalkan.
b. Sistem liberal kapitalis modern.
Sistem ekonomi liberal kapitalis
modern adalah sistem ekonomi liberal kapitalis yang telah disempurnakan.
Beberapa unsur penyempurnaan yang paling mencolok adalah diterimanya
peran pemerintah dalam pengelolaan perekonomian. Pentingnya peranan
pemerintah dalam hal ini adalah sebagai pengawas jalannya perekonomian.
Selain itu, kebebasan individu juga dibatasi melalui pemberlakuan
berbagai peraturan, diantaranya undang-undang anti monopoli (Antitrust
Law). Nasib pekerja juga sudah mulai diperhatikan dengan diberlakukannya
peraturan-peraturan yang melindungi hak asasi buruh sebagai manusia.
Serikat buruh juga diijinkan berdiri dan memperjuangkan nasib para
pekerja. Dalam sistem liberal kapilalis modern tidak semua aset
produktif boleh dimiliki individu terutama yang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat banyak, pembatasannya dilakukan berdasarkan
undang-undang atau peraturan-peraturan. Untuk menghindari perbedaan
kepemilikan yang mencolok, maka diberlakukan pajak progresif misalnya
pajak barang mewah.
Negara-negara yang menganut sistem ekonomi liberal kapitalis modern antara lain :
1) Di benua Amerika, antara lain
Amerika Serikat, Argentina, Bolivia, Brasil, Chili, Kuba, Kolombia,
Ekuador, Kanada, Maksiko, Paraguay, Peru dan Venezuela.
2) Di benua Eropa, sebagian
besar menganut sistem ini antara lain Austria, Belgia, Bulgaria,
Kroasia, Cekoslovakia, Denmark, Prancis, Jerman, Yunani, Italia,
Belanda, Polandia, Portugal, Spanyol, Swedia, Inggris.
3) Di benua Asia, antara lain
India, Iran, Israel, Jepang, Korea Selatan, Filipina, Taiwan, Thailand,
Turki, Malaysia, Singapura.
4) Kepulauan Oceania, antara lain Australia dan Selandia Baru.
5) Di benua Afrika, sistem
ekonomi ini terbilang masih baru. Negara yang menganut antara lain
Mesir, Senegal, Afrika Selatan.
Era Pendudukan Jepang
Pada jaman pendudukan Jepang
kehidupan ekonomi rakyat sangat menderita. Lemahnya ekonomi rakyat
berawal dari sistem bumi hangus Hindia Belanda ketika mengalami
kekalahan dari Jepang pada bulan Maret 1942. Sejak itulah kehidupan
ekonomi menjadi lumpuh dan keadaan ekonomi berubah dari ekonomi rakyat
menjadi ekonomi perang. Langkah pertama yang dilakukan Jepang adalah
merehabilitasi prasarana ekonomi seperti jembatan, alat-alat
transportasi dan komunikasi. Selanjutnya Jepang menyita seluruh kekayaan
musuh dan dijadikan hak milik Jepang, seperti perkebunan-perkebunan,
bank-bank, pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan, telekomunikasi dan
lainlain. Hal ini dilakukan karena pasukan Jepang dalam melakukan
serangan ke luar negaranya tidak membawa perbekalan makanan Kebijakan
ekonomi pemerintah pendudukan Jepang diprioritaskan untuk kepentingan
perang. Perkebunan kopi, teh dan tembakau yang dianggap sebagai barang
kenikmatan dan kurang bermanfaat bagi kepentingan perang diganti dengan
tanaman penghasil bahan makanan dana tanaman jarak untuk pelumas.
Pola ekonomi perang yang
dilancarakan oleh Tokyo dilaksanakan secara konsekuen dalam wilayah yang
diduduki oleh angkatan perangnya. Setiap lingkungan daerah harus
melaksanakan autarki (berdiri di atas kaki sendiri), yang disesuaikan
dengan situasi perang. Jawa dibagi atas 17 lingkungan autarki, Sumatra
atas 3 lingkungan dan daerah Minseifu (daerah yang diperintah Angkatan
Laut Jepang) dibagi atas 3 lingkungan autarki. Karena dengan sistem
desentralisasi maka Jawa merupakan bagian daripada “Lingkungan
Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” mempunyai dua tugas, yakni:
memenuhi kebutuhan sendiri untuk tetap bertahan, mengusahakan produksi barang- barang untuk kepentingan perang.
Seluruh kekayaan alam Indonesia
dimanfaatkan Jepang untuk biaya perang. Bahan makanan dihimpun dari
rakyat untuk persediaan prajurit Jepang seharihari, bahkan juga untuk
keperluan perang jangka panjang. Beberapa tindakan Jepang dalam memeras
sumber daya alam dengan cara-cara berikut ini :
Petani wajib menyetorkan hasil panen
berupa padi dan jagung untuk keperluan konsumsi militer Jepang. Hal ini
mengakibatkan rakyat menderita kelaparan.
Penebangan hutan secara
besar-besaran untuk keperluan industri alat-alat perang, misalnya kayu
jati untuk membuat tangkai senjata. Pemusnahan hutan ini mengakibatkan
banjir dan erosi yang sangat merugikan para petani. Di samping itu erosi
dapat mengurangi kesuburan tanah.
Perkebunan-perkebunan yang tidak ada
kaitannya dengan keperluan perang dimusnahkan, misalnya perkebunan
tembakau di Sumatera. Selanjutnya petani diwajibkan menanam pohon jarak
karena biji jarak dijadikan minyak pelumas mesin pesawat terbang.
Akibatnya petani kehilangan lahan pertanian dan kehilangan waktu
mengerjakan sawah. Sedangkan untuk perkebunan-perkebunan kina, tebu, dan
karet tidak dimusnahkan karena tanaman ini bermanfaat untuk kepentingan
perang.
Penyerahan ternak sapi, kerbau dan
lain-lain bagi pemilik ternak. Kemudian ternak dipotong secara
besar-besaran untuk keperluan konsumsi tentara Jepang. Hal ini
mengakibatkan hewan-hewan berkurang padahal diperlukan untuk pertanian,
yakni untuk membajak. Dengan dua tugas inilah maka serta kekayaan pulau
Jawa menjadi korban dari sistem ekonomi perang pemerintah pendudukan
Jepang.
Cara yang ditempuh untuk pengerahan
tenaga Romusha ini dengan bujukan, tetapi apabila tidak berhasil dengan
cara paksa. Untuk menarik simpati penduduk, Jepang mengatakan bahwa
Romusha adalah pahlawan pekerja yang dihormati atau prajurit ekonomi.
Mereka digambarkan sebagai orang yang sedang menunaikan tugas sucinya
untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya. Sedangkan panitia pengerah
Romusha disebut Romukyokai. Di samping rakyat, bagi para pamong praja
dan pegawai rendahan juga melakukan kerja bakti sukarela yang disebut
Kinrohoshi. Pemimpin-pemimpin Indonesia membantu pemerintah Jepang dalam
kegiatan Romusha ini. Bung Karno memberi contoh berkinrohonsi (kerja
bakti), Bung Hatta memimpin Badan Pembantu Prajurit Pekerja atau
Romusha. Ali Sastroamijoyo, S.H. mempelopori pembaktian barang-barang
perhiasan rakyat untuk membantu biaya perang Jepang.
Akibat dari Romusha ini jumlah pria
di kampung-kampung semakin menipis, banyak pekerjaan desa yang
terbengkelai, ribuan rakyat tidak kembali lagi ke kampungnya, karena
mati atau dibunuh oleh Jepang. Coba bandingkan dengan rodi pada jaman
penjajahan Belanda! Untuk mengawasi penduduk atas terlaksananya
gerakan-gerakan Jepang maka dibentuklah tonarigumi (rukun tetangga)
sampai ke pelosok pelosok pedesaan. Dengan demikian sumber daya manusia
rakyat Indonesia khususnya di Jawa dimanfaatkan secara kejam untuk
kepentingan Jepang. Akibat dari tekanan politik, ekonomi, sosial maupun
kultural ini menjadikan mental bangsa Indonesia mengalami ketakutan dan
kecemasan.
Cita - cita Ekonomi Merdeka
Apakah cita-cita perekonomian kita ketika para pendiri bangsa sedang merancang berdirinya negara Republik Indonesia ini?
Bung Hatta pernah berkata, “dalam
suatu Indonesia Merdeka yang dituju, yang alamnya kaya dan tanahnya
subur, semestinya tidak ada kemiskinan. Bagi Bung Hatta, Indonesia
Merdeka tak ada gunanya jika mayoritas rakyatnya tetap hidup melarat.
“Kemerdekaan nasional tidak ada artinya, apabila pemerintahannya hanya
duduk sebagai biduanda dari kapital asing,” kata Bung Hatta. (Pidato
Bung Hatta di New York, AS, tahun 1960)
Karena itu, para pendiri bangsa,
termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, kemudian merumuskan apa yang disebut
“Cita-Cita Perekonomian”. Ada dua garis besar cita-cita perekonomian
kita. Pertama, melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial dan feodalistik.
Kedua, memperjuangkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Artinya, dengan penjelasan di atas,
berarti cita-cita perekonomian kita tidak menghendaki ketimpangan. Para
pendiri bangsa kita tidak menginginkan penumpukan kemakmuran di tangan
segelintir orang tetapi pemelaratan mayoritas rakyat. Tegasnya,
cita-cita perekonomian kita menghendaki kemakmuran seluruh rakyat. Supaya cita-cita perekonomian itu
tetap menjiwai proses penyelenggaran negara, maka para pendiri bangsa
sepakat memahatkannya dalam buku Konstitusi Negara kita: Pasal 33 UUD
1945. Dengan demikian, Pasal 33 UUD 1945 merupakan sendi utama bagi
pelaksanaan politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia.
Dalam pasal 33 UUD 1945, ada empat
kunci perekonomian untuk memastikan kemakmuran bersama itu bisa
tercapai. Pertama, adanya keharusan bagi peran negara yang bersifat
aktif dan efektif. Kedua, adanya keharusan penyusunan rencana ekonomi
(ekonomi terencana). Ketiga, adanya penegasan soal prinsip demokrasi
ekonomi, yakni pengakuan terhadap sistem ekonomi sebagai usaha bersama
(kolektivisme). Dan keempat, adanya penegasan bahwa muara dari semua
aktivitas ekonomi, termasuk pelibatan sektor swasta, haruslah pada
“sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Perkembangan Ekonomi pada Masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
Indonesia sebagai negara yang baru
merdeka dituntut untuk mampu menghidupi negaranya sendiri dalam berbagai
aspek kehidupan, terutama aspek ekonomi. Perkembangan ekonomi Indonesia
mengalami perkembangan mulai masa pemerintahan Presiden Soekarno yang
dikenal dengan zaman Orde Lama. Kemudian mengalami perkembangan pada
masa pemerintahan Presiden Soeharto yang dikenal dengan zaman Orde Baru.
Hingga zaman reformasi yang mengalami perubahan besar-besaran dalam
aspek ekonomi. Periode kekuasaan di Indonesia yaitu Orde Lama, Orde Baru
dan reformasi memiliki ciri khas masing-masing yang pada akhirnya juga
membawa dampak yang berbeda-beda bagi perkembangan ekonomi Indonesia.
Orientasi pembangunan yang dimaksud adalah orientasi pembangunan keluar,
yakni pembangunan dengan melakukan stabilisasi ekonomi negeri dengan
memanfaatkan sumber luar negeri dan pembangunan berorientasi ke dalam,
yang merupakan usaha stablisasi ekonomi dengan memperkuat usaha-usaha
dalam negeri (Mas’oed, 1989:95).
Orde Lama dibawah pimpinan Soekarno
bersikap anti batuan asing dan berorientasi ke dalam. Soekarno
menyatakan bahwa nilai kemerdekaan yang paling tinggi adalah berdiri di
atas kaki sendiri atau yang biasa disebut “berdikari” (Mas’oed,
1989:76). Soekarno tidak menghendaki adanya bantuan luar negeri dalam
membangun perekonomian Indonesia. Pembangunan ekonomi Indonesia haruslah
dilakukan oleh Indonesia sendiri. Bahkan Soekarno melakukan kampanye
Ganyang Malaysia yang semakin memperkuat posisinya sebagai oposisi
bantuan asing. Semangat nasionalisme Soekarno menjadi pemicu sikapnya
yang tidak menginginkan pihak asing ikut campur dalam pembangungan
ekonomi Indonesia. Padahal saat itu di awal kemerdekaannya Indonesia
membutuhkan pondasi yang kuat dalam pilar ekonomi. Sikap Soekarno yang
anti bantuan asing pada akhirnya membawa konsekuensi tersendiri yaitu
terjadinya kekacauan ekonomi di Indonesia. Soekarno cenderung
mengabaikan permasalahan mengenai ekonomi negara, pengeluaran
besar-besaran yang terjadi bukan ditujukan terhadap pembangunan,
melainkan untuk kebutuhan militer, proyek mercusuar, dan dana-dana
politik lainnya. Soekarno juga cenderung menutup Indonesia terhadap
dunia luar terutama negara-negara barat. Hal itu diperkeruh dengan
terjadinya inflasi hingga 600% per tahun pada 1966 yang pada akhirnya
mengakibatkan kekacauan ekonomi bagi Indonesia. Kepercayaan masyarakat
pada era Orde Lama kemudian menurun karena rakyat tidak mendapatkan
kesejahteraan dalam bidang ekonomi.
Kemudian fase baru dimulai dalam
perkembangan Indonesia, yakni masa Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.
Di era Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, slogan “Politik sebagai
Panglima” berubah menjadi “Ekonomi sebagai Panglima”. Karena pada masa
ini, pembangunan ekonomi merupakan keutamaan, buktinya,
kebijakan-kebijakan Soeharto berorientasi kepada pembangunan ekonomi.
Kepemimpinan era Soeharto juga berbanding terbalik dengan kepemimpinan
era Soekarno. Jika kebijakan Soekarno cenderung menutup diri dari
negara-negara barat, Soeharto malah berusaha menarik modal dari
negara-negara barat itu. Perekonomian pada masa Soeharto juga ditandai
dengan adanya perbaikan di berbagai sector dan pengiriman delegasi untuk
mendapatkan pinjaman-pinjaman dari negara-negara barat dan juga IMF.
Jenis bantuan asing ini sangat berarti dalam menstabilkan harga-harga
melalui “injeksi” bahan impor ke pasar. Orde Baru berpandangan bahwa
Indonesia memerlukan dukungan baik dari pemerintah negara kapitalis
asing maupun dari masyarakat bisnis internasional pada umumnya, yakni
para banker dan perusahaan-perusahaan multinasional (Mochtar 1989,67).
Orde Baru cenderung berorientasi keluar dalam membangun ekonomi. Langkah
Soeharto dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, tahap penyelamatan yang
bertujuan untuk mencegah agar kemerosotan ekonomi tidak menjadi lebih
buruk lagi. Kedua, stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, yang
mengendalikan inflasi dan memperbaiki infrastruktur ekonmi. Ketiga,
pembangunan ekonomi. Hubungan Indonesia dengan negara lain dipererat
melalui berbagai kerjasama, Indonesia juga aktif dalam organisasi
internasional, terutama PBB, dan penyelesaian konflik dengan Malaysia.
Awalnya bantuan asing sulit diperoleh karena mereka telah dikecewakan
oleh Soekarno, namun dnegan berbagai usaha dan pendekatan yang dilakukan
kucuran dana asing tersebut akhirnya diterima Indonesia. Ekonomi
Indonesia mulai bangkit bahkan akhirnya menjadi begitu kuat.
Sayangnya kekuatan ekonomi itu
didapatkan dari bantuan asing yang suka atau tidak harus dikembalikan.
Suntikan bantuan dari Amerika Serikat maupun Jepang cukup berperan besar
dalam perbaikan ekonomi di Indonesia. Begitupun dengan IMF yang dinilai
sangat bermanfaat dalam memperjuangkan Indonesia di hadapan para
kreditor asing (Mas’oed, 1989:84). Namun, bantuan tersebut tidak serta
merta membuat Indonesia tumbuh dengan prestasi ekonomi, Indonesia
ternyata semakin terjerat keterpurukan perekonomian dalam negeri akibat
syarat-syarat dan bunga yang telah direncanakan negara penyuntik
bantuan. Booth (1999) menjelaskan kegagalan industri dalam negeri
dipasar global serta terjun bebasnya nilai rupiah juga menjadi warisan
keterpurukan ekonomi pada Orde Baru yang berorientasi pada pembangunan
ekonomi keluar. Maka, kini hal tersebut menjadi tantangan pemerintahan
reformasi untuk menuntaskan permasalahan ekonomi dalam negeri.
Reformasi ditandai dengan lengsernya
Presiden Soeharto dan diangkatnya BJ Habibie yang saat itu menjabat
sebagai Wakil Presiden menjadi Presiden Indonesia. Hal ini disebabkan
oleh tidak mampunya Soeharto mengalami permasalahan ekonomi serta
semakin mewabahnya KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Trauma zaman Orde
Baru yang mengekang hak-hak demokrasi warga negara serta kediktatoran
Soeharto menyebabkan terjadinya perubahan menyeluruh dalam tiap aspek
kehidupan. Naiknya nilai tukar dollar secara tak tertahankan pada zaman
Orde Baru, menyebabkan naiknya berbagai kebutuhan pokok Indonesia.
Namun, secara perlahan nilai tukar dollar terhadap rupiah ini semakin
menurun hingga saat ini.
Selanjutnya yang menjadi penting
yakni orientasi ekonomi yang bagaimana, ke luar atau ke dalam, yang
kemudian dapat dianggap dan diharapkan efektif dan sesuai dengan kondisi
Indonesi saat ini. Orientasi ekonomi ke dalam pada zaman kepemimpinan
Soekarno yakni Orde Lama masih memiliki kekurangan. Begitu pula dengan
era Orde Baru dibawah kekuasaan Soeharto. Kekurangan-kekurangan tersebut
yang akhirnya memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap
perkembangan ekonomi di Indonesia. Dalam masa kini perkembangan ekonomi
tentu saja lebih baik dari pada dua era tersebut. Sebenarnya Indonesia
tidak perlu terlalu berpacu pada orientasi ke luar atau ke dalam.
Orientasi ekonomi di Indonesia harus lebih fleksibel. Karena dengan hal
tersebut maka ekonomi di Indonesia tidak hanya berpusat di dalam negeri
tanpa mau menerima bantuan asing, juga tidak hanya berkonsentrasi pada
bantuan asing tanpa memperhatikan kemampuan yang dimiliki oleh Indonesia
sendiri. Alangkah lebih baiknya jika orientasi ke dalam maupun ke luar
dapat seimbang, sehingga Indonesia yang tentu saja masih memiliki
kekurangan dapat menerima berbagai bantuan luar negeri secara wajar,
yang kemudian tidak lupa untuk memaksimalkan sumber-sumber yang ada di
Indonesia sendiri, baik itu SDA maupun SDM di Indonesia. Pemerintah juga
harus dengan bijaksana menentukan berbagai kebijakan mengenai bantuan
maupun investor asing yang akan membantu hingga menanamkan sahamnya di
Indonesia. Sehingga Indonesia tidak menjadi pihak yang dirugikan, serta
berbagai bantuan yang datang dari luar negeri maupun investor asing
dapat dibatasi kewenangannya di Indonesia dan mencegah investor asing
untuk mendapatkan keuntungan dan eksploitasi yang berlebihan terhadap
Indonesia.
Kesimpulan dan Opini:
Dari urairan di atas
dapat disimpulkan bahwa periodesasi perkembangan ekonomi di Indonesia
dapat dikategorikan menjadi tiga era, yakni: Orde Lama, Orde Baru, dan
Reformasi. Pada masa Orde Lama dibawah kepemimpinan Soekarno orientasi
ekonomi di Indonesia cenderung ke dalam. Soekarno menolak berbagai
bantuan asing untuk perkembangan ekonomi di Indonesia. Nasionalisme
diartikan dengan keyakinan bahwa pembangunan di Indonesia termasuk pada
bidang ekonomi harus berasal dari dalam diri bangsa Indonesia sendiri.
Namun kemudian terjadi inflasi hingga 600% per tahun pada 1966 yang pada
akhirnya mengakibatkan kekacauan ekonomi bagi Indonesia, dan membuat
masyarakat Indonesia tidak sejahtera. Kemudian lahir lah era Orde Baru
dibawah kekuasaan Soeharto. Kebalikan dari Soekarno, Soeharto menekankan
pada pembangunan ekonomi Indonesia yang berorientasi ke luar. Soeharto
banyak menerima bantuan dari luar negeri seperti IMF, kemudian juga
banyak mengundang investor asing untuk menanamkan sahamnya dan membangun
industri di Indonesia. Namun hal tersebut tidak lah berjalan lancar
sepenuhnya, kegagalan industri dalam negeri dipasar global serta terjun
bebasnya nilai rupiah juga menjadi warisan keterpurukan ekonomi pada
Orde Baru yang berorientasi pada pembangunan ekonomi keluar. Kemudian
pada masa reformasi nilai rupiah terhadap dolar perlahan-lahan dapat
membaik, dan tentu saja pembangunan ekonomi pada era reformasi ini lebih
baik dari pada dua era tersebut.
Opini penulis mengenai
hal tersebut yakni bahwa dibutuhkan banyak pengalaman termasuk kegagalan
untuk mencapai sesuatu yang lebih baik lagi. Perkembangan ekonomi di
Indonesia pada Orde Lama dan Orde Baru tentu saja tidak sepenuhnya
memberikan dampak yang buruk. Hal-hal positif dari kedua era tersebutlah
yang kemudian sebaiknya dapat dijadikan sebuah kombinasi, yakni
orientasi pembangunan ekonomi yang lebih fleksibel, yang kemudian dapat
menyeimbangkan antara orientasi ekonomi ke luar dan ke dalam.
Referensi:
Booth, Anne. 1999. “Development: Achievement and Weakness”, dalam Donald K. Emmerson (ed), Indonesia Beyond Suharto, New York: M. E. Sharpe, Inc., pp. 109-135
Mas’oed, Mohtar. 1989. “Stabilisasidan Pembangunan Ekonomi yang Berorientasi Keluar”, dalam Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta: LP3ES, 59-126
http://sejarahnasionaldandunia.blogspot.com/
http://www.g-excess.com/
https://elkace.wordpress.com/
http://www.gurusejarah.com/
http://www.berdikarionline.com/
http://farras-ghaly-fisip13.web.unair.ac.id/
Comments
Post a Comment